Popular Posts

Jumat, 18 Mei 2012

PENGERTIAN SUTRAH DAN HUKUMNYA DALAM SHALAT

PENGERTIAN SUTRAH DAN HUKUMNYA DALAM SHALAT

Pengertian Sutrah dan hukumnya dalam shalat-Diantara hal yang disyariatkan ketika shalat adalah sutrah atau pembatas yang mana hal ini telah banyak dari kaum muslimin yang telah melupakannya padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ : رواه ابن ماجه
"Jika shalat salah seorang diantara kalian, hendaklah shalat menghadap sutrah dan hendaklah mendekat padanya dan jangan biarkan seorangpun lewat antara dia dengan sutrah. Jika ada seseorang lewat di depannya maka perangilah karena dia adalah syaithan" (HHR. Ibnu Majah)

Mengomentari hadits diatas Imam As Syaukani رحمه الله berkata :"Padanya (menunjukkan) bahwa memasang sutrah adalah wajib" (Lihat Nailul Authar 3/2) 

Diantara perkara yang menguatkan wajibnya adalah sesungguhnya sutrah merupakan sebab syar'i yang menyebabkan tidak batalnya shalat karena lewatnya wanita yang baligh, keledai dan anjing hitam sebagaimana yang telah sah yang demikian itu dalam hadits yang menyatakan larangan orang lewat di depan orang yang shalat dan hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan sutrah. 

Oleh karena itu para salafus shalih bersemangat memasang sutrah ketika shalat. Disamping itu telah sampai pula berturut-turut perkataan, perbuatan, anjuran dan perintah mereka untuk menggunakannya serta pengingkaran terhadap orang yang tidak menghadap sutrah ketika shalat. 

Berkata Qurrah bin Iyas رحمه الله :"Umar melihatku sedangkan aku ketika itu sedang shalat diantara dua tiang, maka ia memegang tengkukku dan mendekatkanku ke sutrah seraya berkata "Shalatlah menghadap kepadanya" (R. Bukhari secara mu'allaq) 

Berkata Al-Allamah As-Safarini رحمه الله: "Ketahuilah, sesungguhnya dimustahab kan (disunnahkan) shalatnya seseorang menghadap sutrah secara ittifaq (sepakat) sekalipun tidak dikhawatirkan adanya orang yang lewat". Berbeda dengan Imam Malik رحمه الله, dimana menyebutkan dalam "Al-Wadhih" tentang wajibnya bersutrah dengan tembok atau sesuatu yang menonjol dan berwujud dan pendapat ini pula yang disenangi oleh Imam Ahmad (Lihat Syarhu Tsulatsiyatil Musnad 2:786) 

Pemutlakan ini adalah yang lebih benar -Insya Allah- karena alasan disunnahkannya memasang sutrah dengan disebabkan adanya kekhawatiran orang yang lewat hanyalah alasan ra'yu (akal) belaka, tidak ada dalil atasnya. 

Berkata Ibnu Khuzaimah رحمه الله setelah menyebutkan sebagian hadits yang berisi perintah memasang sutrah : "Khabar atau riwayat ini seluruhnya shahih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah memerintahkan seseorang shalat agar memasang batas atau sutrah dalam shalatnya. Abdul Karim telah mengaku dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam shalat tidak menghadap sutrah yakni ketika beliau berada di padang yang luas karena disana tidak ada satupun bangunan yang bisa dijadikan pembatas dengannya. (Hadits ini dhaif sebagaimana diperingatkan Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal. 305 dan beliau berkata hadits ini telah dicantumkan dalam Al-Ahadits Adh-Dhaifah No. 5814 bersama hadits lain yang semakna). Padahal beliau telah mencela orang yang melakukan shalat bila tidak menghadap sutrah, maka bagaimana mungkin beliau mengerjakan perkara yang beliau sendiri mencelanya" (Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah 2:27-28). 

Dari uraian di atas jelaslah bagi kita kesalahan orang yang melakukan shalat dengan tidak memasang sutrah di depannya sekalipun aman dari lewatnya manusia atau ketika di padang luas, juga tidak ada perbedaan antara Mekkah dan tempat lainnya tentang hukum yang berkaitan dengan sutrah secara mutlak.

Sebagian ahlul ilmi menganggapnya mustahab bagi orang yang shalat agar memasang sutrah agak ke kanan sedikit atau ke kiri sedikit dan tidak menghadap lurus didepannya, padahal tidak ada dalil yang shalih yang membenarkan perbuatan ini. (Lihat Ahkamus Sutrah hal. 46-48) 

Ukuran sutrah
Ukuran sutrah yang sah yang dengannya dapat membatasi seseorang yang shalat dan dapat menolak orang yang lewat antara dia dengan sutrah adalah sepanjang bagian belakang pelana kendaraan tunggangan, dan tidak diperbolehkan seseorang yang shalat mencukupkan diri menggunakan sutrah kurang dari ukuran tersebut ketika dalam kelonggaran. 

Dari Thalhah Radhiyallahu 'anhu dia berkata bahwasanya telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ : رواه مسلم

"Jika salah seorang diantara kalian meletakkan seperti bagian belakang pelana kendaraan tunggangan hendaklah shalat menghadapnya dan jangan pedulikan orang yang lewat di belakangnya" (HR. Muslim).
Pelana yang dimaksudkan itu panjangnya satu hasta sebagaimana yang dijelaskan oleh Atha, Qatadah, At-Tsauri dan Nafi رحمهم الله (Lihat Mushannaf Abdur Razzaq 2:9,14,15/ Shahih Ibnu Khuzaimah hal.807 dan Sunan Abu Daud hal.686). Satu hasta itu ukurannya antara ujung siku-siku sampai ujung jari yang tengah (Lihat Lisanul Arab 3:1495). Diperkirakan sekitar 46,2 cm (Lihat Mu'jam Lughatil Fuqaha:450,451). Dalam Subulus Salam 1:295 Imam Ash-Shan'ani رحمه الله mengatakan 2/3 hasta. 

Telah jelas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah shalat menghadap batu, tombak dan semisalnya, dan sudah maklum bahwa keduanya bentuknya kecil. Inilah yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan sutrah satu hasta adalah panjangnya dan bukan lebarnya.
Berkata Ibnu Khuzaimah رحمه الله :"Dalil dari Riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau memaksudkan sutrah itu seperti bagian belakang pelana kendaraan tunggangan adalah ukuran panjangnya dan bukan lebarnya merupakan perkara yang telah tsabit atau tetap. Diantaranya ialah khabar ketika ditancapkan tombak untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,, lalu beliau shalat menghadapnya, sedangkan lebarnya tombak tidaklah seperti lebarnya bagian belakang pelana kendaraan tunggangan" (Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah 2:12). Berarti yang dimaksud adalah panjangnya dan bukan lebarnya. 

Atas dasar ini tidak diperbolehkan menjadikan garis sebagai sutrah selama ada kemampuan mengambil yang lainnya sekalipun hanya berbentuk tongkat, kayu atau tanah, bahkan sekalipun hanya menumpuk batu seperti yang dilakukan Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu 'anhu. Adapun hadits:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا : رواه ابن ماجه

"Apabila salah seorang dari kalian shalat maka jadikanlah dihadapannya sesuatu, kalau tidak dapat maka letakkanlah sebuah batu, kalau tidak dapat maka buatlah sebuah garis" (HR. Ibnu Majah) adalah hadits dhaif (lemah). Kedhaifannya itu diisyaratkan oleh Sufyan bin 'Uyainah, Syafi'i, Al-Baghawi dan lainnya. Daruqutni رحمه الله berkata "Hadits ini tidak shahih dan tidak tsabit". 

Berkata Imam Syafi'i رحمه الله dalam "Sunan Harmalah": "Tidak boleh orang yang shalat menggaris di depannya satu garis pun kecuali yang demikian itu tercantum dalam hadits yang tsabit sehingga bisa diikuti".
Berkata Imam Malik رحمه الله didalam "Al-Mudawwanah": "Sutrah dengan garis itu bathil". 

Ulama-ulama mutaakhiriin telah mendhaifkannya pula seperti Ibnu Shalah, Imam An-Nawawi, Al-Iraqi, Al Albani dan yang lainnya.
Sutrah Bagi Makmum Sesungguhnya tidak diwajibkan sutrah bagi makmum karena sutrah dalam shalat menjadi tanggung jawab imam dan jangan disangka bahwa tiap-tiap orang sutrahnya adalah orang yang shalat di depannya karena demikian ini tidak terjadi pada shaf pertama lalu mengharuskan pula mencegah orang-orang yang lewat diantara shaf-shaf itu. Dalil yang menyelisihi hal ini adalah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ia berkata :

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ وَرَسُولُ اللهِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اَلأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ : رواه مسلم

"Saya datang dengan mengendarai keledai dan saat itu saya sudah ihtilam (baligh) dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sedang melaksanakan shalat bersama orang-orang di Mina. Maka saya melewati bagian depan shaf, kemudian saya turun, kemudian saya membiarkan keledai makan rumput dan saya masuk ke dalam shaf dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut" (HR. Muslim) Ibnu Abbas mengendarai keledai betina di depan shaf pertama dan tidak seorangpun dari shahabat yang menahannya. Tidak ada shahabat yang mengingkari hal tersebut dan tidak pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, seandainya ada orang yang mengatakan mungkin saja Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mengetahui hal tersebut, maka kita katakan bahwa kalau seandainya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam dapat melihat orang yang berada di belakang beliau ketika sedang shalat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam : 
فَوَاللهِ مَا يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوعُكُمْ وَلاَ رُكُوعُكُمْ إِنِّي َلأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي : رواه البخاري
"Demi Allah tidak tersembunyi bagiku kekhusyu'an kalian dan tidak pula ruku' kalian, sesungguhnya aku benar-benar akan melihat kalian dari belakang punggungku" (HR. Bukhari). Apatah lagi orang yang datang dari arah samping beliau. Berkata Ibnu Abdil Barr : "Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini menjadi pengkhususan hadits Abu Sa'id (yang artinya): "Jika salah seorang dari kalian shalat jangan biarkan seorang pun lewat didepannya" karena hadits ini khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedangkan tidak ada yang memudharatkan makmum siapapun orang yang lewat di depannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini. Ini semua tidak ada perselisihan diantara para ulama" (Lihat Fathul Bari 1:572) 

Dengan ini diketahui sesungguhnya shalat berjamaah itu adalah shalat satu yang terbilang dan bukan shalat sejumlah bilangan orang yang melakukannya, oleh karena itu cukup satu sutrah. Seandainya itu merupakan shalat-shalat (sendiri sejumlah bilangan orang yang melakukannya) niscaya tiap orang yang melakukan shalat membutuhkan sutrah (Lihat Faidhlul Bari 2:77). Jika imam tidak memasang sutrah sungguh ia telah berbuat jelek dan itu adalah kekurangan darinya dan tidak wajib bagi tiap-tiap makmum memasang sutrah sendiri-sendiri dan hendaknya mencegah orang yang lewat didepannya (Lihat Ahkamus Sutrah hal. 21-22) Permasalahan : Jika makmum masbuq berdiri setelah salamnya imam untuk menyelesaikan apa-apa yang terluput bersama imam maka keluarlah keadaan ia sebagai makmum, lalu apa yang harus dia lakukan ? 

Bekata Imam Malik رحمه الله :"Dan tidak mengapa bergeser setelah salamnya imam ke suatu yang dekat dengannya dari tiang-tiang yang berada di depannya, kesamping kanan, kiri atau belakangnya dengan mundur sedikit, bersutrah dengannya jika dekat dan jika jauh maka ia tetap berdiri di tempatnya dan bersungguh-sungguh menahan orang yang melewatinya".(Lihat Syarhu Zarqani 'Ala Mukhtashar Khalil 1:208) 

Berkata Ibnu Rusyd رحمه الله:"Seandainya seseorang berdiri menyelesaikan apa-apa yang tertinggal dari shalatnya, dan ada tiang di dekatnya maka hendaknya ia berjalan ke sana dan menjadikannya sutrah baginya pada sisa shalatnya, jika tidak ada tiang di dekatnya maka dia shalat sebagaimana pada tempatnya semula dan menahan orang yang lewat di depannya itu semampu mungkin, dan orang yang lewat tersebut berdosa. Adapun orang yang lewat diantara shaf-shaf, jika sekelompok kaum shalat bersama imam mereka maka tidak berdosa atasnya karena imam menjadi sutrah bagi mereka. Wabillahi Taufiq" (Lihat Fatawa Ibnu Rusyd 2/904). 
-Abu Ahmad Fudhail-

0 komentar

Posting Komentar